Resep Homemade Selai Kacang (Peanut Butter) dan Bocah Tantrum
Pengalaman saya berurusan dengan anak kecil alias balita tidaklah terlalu banyak, walau dulu ketika kedua adik lelaki saya, Tedy dan Dimas masih kecil, saya sering mengasuh mereka berdua. Jarak usia Tedy dan Dimas memang cukup jauh dengan kami, ketiga kakak perempuan, ketika Dimas masih bayi saya bahkan masih duduk di bangku kuliah. Tapi tentu saja mengasuh sesekali dengan rasa tanggung jawab yang tidak besar berbeda rasanya jika kita benar-benar menjadi orang tua. Walau saya terbilang suka dengan anak kecil, namun rasa suka itu muncul ketika si bocah sangat lucu, menggemaskan dan suka mengoceh. Tapi bagaimana jika bocah tersebut sedang mengamuk hebat? Hm, nanti dulu.
Tingkat rasa sabar saya memang agak tipis ketika menghadapi bocah yang sedang tantrum. Lebih tepatnya tingkat rasa sabar saya sebenarnya tipis untuk semua hal, namun menghadapi makhluk mungil yang tidak bisa diajak berbicara, tidak mau mendengar, meraung keras dan berguling-guling di lantai benar-benar menguji iman. 😄
Bocah yang saya maksudkan disini adalah keponakan lucu saya, Aruna. Bocah cilik ini adalah keponakan terkecil dan manusia termuda dalam jajaran keluarga besar kami. Usianya baru tiga tahun, namun tingkah polahnya jauh dari usianya. Aruna sangat mandiri, tidak mau dibantu untuk urusan apapun, termasuk ketika saya hendak mengantarkannya ke kamar Tedy, saat kami menginap di Hotel Mercure kala libur Lebaran lalu di Ancol. Jarak kamar saya dan Tedy sangat jauh, walau berada pada lorong yang sama namun lokasi kamar kami terletak pada dua ujung yang berbeda. Sepanjang lorong biasanya sangat sepi, kondisinya tidak terlalu terang, dan Aruna berteriak meminta saya tetap tinggal dikamar, jangan menemaninya ketika hendak saya kembalikan ke kamar ayahnya.
"Una bisa pulang sendiri. Tante jangan antar!" Perintahnya bossy. Walau tingginya tidak sampai 100 cm namun bocah ini mampu membuat semua orang dewasa menuruti permintaan atau perintahnya. "Nggak dong. Tante antar ke kamar ayah," balas saya. Saya belum terlalu gila membiarkan bocah cilik ini berjalan di lorong nan panjang sendirian, walau saya tahu, Una hafal dengan letak kamarnya sendiri. "Nggak, nggak! Tante masuk kamar saja, tutup pintunya. Una mau pulang sendiri," selesai mengucapkan kalimat itu Aruna berlari kencang ke ujung lorong lainnya. Kaki-kakinya memang mungil, dan langkahnya tentu saja tidak sepanjang langkah kaki saya, tapi bagaimana mungkin dengan kaki semungil itu mampu membawa tubuhnya seakan terbang dan membuat saya terpontang-panting mengejarnya. Langkah kaki saya yang berat terdengar 'bergedebukan" di lorong yang lengang, dan saya yakin para tamu hotel mengumpat kesal.
Una yang tiba di depan kamar ayahnya berhenti dan kebingungan, saya tahu dia ingin memencet bel kamar yang jaraknya tak terjangkau oleh tubuh kecilnya. Tapi kali ini saya hendak membalas dendam. Di sebelah kamar Tedy terletak jajaran lift, kesanalah saya melangkahkan kaki, tak menghiraukan Una yang celingukan di depan pintu. "Tante, tante, gendong. Una mau pencet bel," pintanya menggemaskan. "Ah nggak mau, tadi katanya bisa sendiri. Una kan nggak perlu tante," balas saya keki. "Perlu, perlu. Una perlu tante. Gendong," bujuknya manis sambil menarik-narik tangan saya. Siapa yang tega menolak permintaan yang diucapkan oleh bibir mungil dalam sebuah wajah bulat berpipi gembul seperti milik Una? Saya tentu saja tidak. Akhirnya bocah itu saya gendong dan berjalan mendekat ke bel pintu, kegemarannya akan memencet bel dan memasukkan kartu ke kunci pintu kamar memang luar biasa, dan kegemaran itu pulalah yang akhirnya membawa kehebohan di hari terakhir kala kami akan check out dari hotel.
Una adalah bocah yang sangat kompetitif, selalu meminta diperlakukan sama dengan kakaknya, untuk urusan apapun. Kami selalu membelikan pakaian atau benda-benda lain yang sama bentuk dan warnanya bagi Kirana, sang kakak, dan Aruna. Jika berbeda, maka Aruna akan protes berat dan mengatakan tidak adil. Hari itu, Tedy bersama keluarganya baru saja selesai santap pagi di resto hotel. Mereka kembali ke kamar, dan adik saya menawarkan kepada Kirana kunci kamar berbentuk kartu untuk membuka kunci. Kirana langsung meraih kartu, memasukkannya ke dalam lubang kunci dan membuka pintu. Aruna melihat sang kakak yang mendapatkan 'perlakuan istimewa' ini langsung menjerit protes, "Una juga mau buka pintu. Ulangi, ulangi," teriaknya keras. Tedy segera menutup pintu, menyerahkan kartu ke tangan putri bungsunya, berharap adegan membuka pintu akan diulang sekali lagi. Tapi bukan skenario itu yang ada di dalam kepala Una.
"Bukan begitu, nggak mau. Ulangi lagi. Ayah jahat! Nggak adil!" Teriaknya histeris sambil berlinangan air mata. Lolongannya memenuhi lorong, membuat saya yang baru keluar kamar bersama Ibu langsung berlari terbirit-birit mendekat, mengira ada kejadian serius. "Gimana sih? Ini kan diulangi lagi. Una masukkan kuncinya lagi saja," suara sabar Tedy terdengar sedikit kebingungan. Una tetap menjerit sekeras-kerasnya, menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menatap kearah Kirana dengan penuh amarah. "Kakak jahat! Kakak jahat!" Secara tiba-tiba bocah itu mengayunkan tinjunya ke dada Kirana kuat-kuat. Salah satu alasan yang membuat adik saya agak enggan memasukkan Aruna ke playgroup adalah bocah ini sangat berani, dan jika sedang mengamuk suka melancarkan pukulan. "Bagaimana nanti kalau berantem dengan teman sekolahnya dan dia mukul? Aku bisa dimarahin orang tua murid lainnya lah," jawab Tedy waktu kami menyarankan agar Aruna dimasukkan ke playgroup seperti Kirana dulu.
Terkena jab keras dari Aruna, Kirana yang kesakitan langsung menangis, dan kali ini saya merasa enough. Sedari tadi saya dan Ibu berdiri disana berusaha membujuk dengan sabar tapi ketika pukulan sudah berbicara maka saya tidak bisa tinggal diam. Saya berjalan mendekati Una yang kali ini sedang bergulingan di karpet di lantai sambil menangis histeris. Suara teriakannya yang super kencang membuat beberapa tamu hotel keluar dari kamar mereka.
Saya segera menggendong Una agar bocah tersebut tidak bergulingan di lantai, tapi seorang bocah 3 tahun yang sedang mengamuk ternyata memiliki tenaga ekstra kuat. Tubuhnya menggeliat heboh, sementara tangan dan kakinya bergerak liar. Saya tak kuasa mengangkatnya dari lantai. Adik saya, Wiwin yang mendengar keramaian itu ikut keluar dari kamar. Sebagai Ibu dengan pengalaman dua anak lelaki dan memiliki tingkat rasa sabar yang lebih tinggi dibandingkan saya, membuat Wiwin terlihat tenang menghandle bocah yang sedang tantrum. Digendongnya Una ke dalam kamar sambil mengucapkan kata bujukan, mulai dari berjanji membelikan es krim, berenang dikolam sesuka yang Una mau, hingga entah janji manis apa lainnya yang diucapkan. Kami hanya menonton dari jauh melihat Wiwin membawa Una ke kamarnya. Apakah cara itu berhasil? Ternyata tidak. Wiwin bercerita didalam kamar Una masih terus menangis sesenggukan dan ditengah tangisan tersebut si kecil ini masih bisa berbicara, "Ini semua gara-gara ayah!" Una kemudian meminta Wiwin mengulang adegan membuka pintu kamar, dimulai dari turun lift, menuju ke ruang makan, dan berjalan kembali ke lift dan menuju ke kamarnya. Skenario mengulang inilah yang diinginkannya. Saya ngakak mendengar cerita Wiwin.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, karena akhirnya saya pergi dari lokasi keributan bersama Kirana dan Ibu menuju ke kolam renang, Una saat itu masih mengamuk hebat. Ketika kami telah sibuk berenang dan bermain air di kolam renang selama 30 menit, Una muncul bersama Diar, mamanya. Mata sipitnya terlihat bengkak dan sembab, tapi bibirnya tersenyum ceria. Entah cara apa yang digunakan Diar, yang jelas adik ipar saya ini memiliki tingkat rasa sabar selevel dewa. Selain itu, Diar biasanya membujuk anak tantrum dengan cara persuasif, perlahan dan menunggu hingga mengamuknya si bocah menghilang. Saya salut dengan kesabarannya. Anak kecil yang sedang mengamuk memang hanya bisa dihadapi dengan rasa sabar, sikap tenang dan waktu, terkadang kita orang dewasa lupa dengan semua itu dan menganggap manusia kecil ini harus bersikap sama seperti kita. Siang harinya, iseng kami bertanya ke Una, "Una tadi pagi kok ngamuk begitu kenapa sih?" Bocah itu langsung melengos tanpa sepatah katapun keluar dari bibir yang biasanya sangat cerewet ini. Kami tahu, dia merasa bersalah dan malu dengan tingkah polahnya yang super heboh, lagipula bukankah ini semua gara-gara ayah? 😅
Wokeh menuju ke resep homemade selai kacang kali ini. Saya pernah membuat peanut butter sebelumnya, namun kala itu saya menghaluskan kacang menggunakan power blender karena mengira butiran kacang tanah yang keras tidak akan bisa smooth jika digiling di food processor, (resep bisa diklik pada link disini). Ternyata anggapan tersebut salah besar, sebagaimana halnya membuat almond butter, maka membuat peanut butter juga sangat mudah. Bahkan karena kacang tanah lebih lunak dibandingkan kacang almond maka prosesnya juga lebih cepat. Pada tahap awal memang kacang hanya akan membentuk serpihan kasar berbutir-butir, namun ketika proses menggiling terus dilanjutkan maka kacang akan berubah menjadi gumpalan dan pada akhirnya berubah lumer, lunak dan mudah dioleskan pada sepotong roti selayaknya peanut butter umumnya. Waktu proses bahkan tidak terlalu lama.
Keunggulan selai kacang buatan sendiri adalah bebas gula. Sangat sulit menemukan peanut butter tanpa gula yang dijual di luaran jikalau ada maka harganya sangat mahal. Selain itu homemade peanut butter juga bebas pengawet, jika ingin selai tahan lama maka simpan dalam wadah tertutup rapat di dalam kulkas ya.
Berikut resep dan prosesnya.
Homemade Selai Kacang (Peanut Butter)
Resep modifikasi sendiri
Untuk 350 gram selai
Tertarik dengan resep homemade selai lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Bahan:
- 350 gram kacang tanah kupas
- 1 sendok makan minyak goreng
- madu, optional
- 1/6 sendok teh garam
Cara membuat:
Siapkan kacang tanah kupas, masukkan ke mangkuk, tambahkan 1 sendok makan minyak goreng. Aduk hingga rata dan minyak melumuri butiran kacang dengan baik. Tuangkan kacang ke sebuah loyang datar. Panggang di oven suhu 180'C sambil sesekali kacang dibalik-balikkan hingga permukaan kacang tampak kuning kecoklatan. Keluarkan dari oven dan biarkan hingga kacang agak dingin.
Masukkan kacang panggang kedalam chopper / food processor. Proses kacang hingga menjadi smooth dan kental. Awal proses menggiling kacang akan tampak kasar berbutir-butir dan remah, lanjutkan memproses hingga kacang menjadi adonan menggumpal dan lama kelamaan akan lumer dan lembek.
Tambahkan garam dan madu (optional), proses hingga tercampur baik. Matikan chopper, tuangkan selai ke wadah tertutup rapat. Selai kacang tahan hingga 1 bulan lamanya didalam chiller.
Comments
Post a Comment